Judul buku : Mereka Bunuh Munir!
Penulis & ilustrator : Eko Prasetyo & Terra Bajraghosa
ISBN : -
Penerbit : Social Movement Institute, Yogyakarta & Kontras
Tahun terbit : 2014
Jumlah halaman : 158
Harga beli : Rp. 29.750,-
Beli di : Togamas Yogyakarta
Tanggal beli : 29 Desember 2016
Nilai : 4 dari 5
Mereka Bunuh Munir! (dengan tanda seru) adalah buku yang hadir dari kekecewaan yang
tumbuh dari harapan akan tegaknya keadilan. Harapan yang kandas seiring
turunnya SBY dan harapan baru dengan naiknya Jokowi. Terbit tepat 10 tahun setelah
meninggalnya Munir dan akhir masa jabatan SBY, buku ini dengan sangat berani
menggugat presiden lama (terutama jika dikaitkan kasus hilangnya laporan TPF
Munir yang menghebohkan beberapa waktu lalu) dan menuntut presiden baru untuk menuntaskan
kasus memalukan ini.
Gaya humor yang mak jleb |
Indonesia memang punya banyak kasus
pelanggaran HAM berat. Selain kasus pelenyapan orang-orang yang disangka bagian
dari PKI tahun 1965, ada kasus DOM di Aceh yang memakan ribuan korban, dan tentu
tragedi Mei 1998 yang menimpa etnis Tionghoa dan sejumlah aktivis HAM. Dua hal yang
disebut terakhir yang menurut buku ini berujung pada dilenyapkannya Munir. Dia dibunuh
karena memang “membahayakan.” Membahayakan siapa? Ya, membahayakan “Mereka.”
Komik dibuka dengan jam-jam
terakhir kehidupan Munir sebelum bertolak ke Amsterdam pada tahun 2004 dan
tewas mengenaskan di atas pesawat akibat diracun. Perlahan dengan sabar tapi dengan
tempo penuh letupan alur komik maju ke sulitnya upaya TPF membongkar kasus
pembunuhan ini, kemudian mundur kembali ke belakang menceritakan sepak terjang
Munir yang membuat takut para “Elite” ketika mengosak-asik pelanggaran HAM yang
mereka lakukan, sambil tetap tak melupakan sisi manusiawi Munir, teman, dan
keluarganya yang sanggup membikin pembaca cepat bersimpati pada Munir.
Menariknya, sekalipun formatnya komik, dia tidak diletakkan di rak komik. Tapi agak tersembunyi menyelip di antara buku kategori Sosial (hm, kenapa coba?). |
Secara teknis gaya gambar Terra
(dosenku pas di DKV ISI Yogyakarta) malah terasa pas dengan tema pelanggaran
hak asazi manusia dalam komik ini. Karena aku bahkan tidak tega membayangkan dan
betapa tak nyamannya bila isi dalam buku ini adalah foto-foto atau setidaknya
gambar realis. Goresan Mas Terra yang terkesan sederhana, kekanakan, dan kocak,
bukan dengan tujuan menertawakan tragedi, bagiku memang perlu supaya pembaca dapat
meredam rasa ngeri dan iba atas derita para korban yang harus mengalami hal
mengerikan nan tak beradab ini.
Mereka (para pembunuh) yang dimaksud buku ini tidak benar-benar mengarah kepada orang tertentu, meski ada petunjuk-petunjuk yang dibangun ke arah sana. Namun komik ini dengan cerdiknya mengindikasi sesuatu yang lebih besar, pihak yang terlibat tapi seolah bersih. Termasuk mereka yang percaya pada kestabilan politik zaman Suharto yang berdasar pada tafsir sempit Pancasila versi Suharto saat dia naik ke kursi presiden dan terus dipraktikkannya lewat tangan militer.
Simak bagaimana komik ini
mengutip dakwaan Jaksa dalam persidangan, bahwa motivasi Pollycarpus membunuh
Munir adalah patriotisme pribadi, yaitu untuk “menegakkan negara kesatuan Republik Indonesia.” Di sinilah
sebenarnya menurutku letak bahaya jargon “NKRI Harga Mati” yang kerap didengungkan,
menjadi tren, dan tak dipertanyakan lebih jauh, seperti apa sebetulnya NKRI
Harga Mati, perlukah sampai mati jika justru melenyapkan nyawa orang yang peduli
dengan NKRI?
0 komentar:
Posting Komentar