Minggu, 04 November 2018

Ditulis 20.52 oleh with 0 comment

Aku Diterjunkan di Irian Jaya


Judul buku                : Aku Diterjunkan di Irian Jaya
Penulis                      : A. Soeroto

Penerbit                    : Balai Pustaka, Jakarta
Tahun terbit              : 1974
Jumlah halaman       : 52
Gambar oleh             : C.Z. Dupe

Nilai                          : 3 dari 5

Buku ini lagi-lagi seperti sejumlah postingan di blog ini adalah bacaan dari masa kecilku. Jumlah halamannya hanya 50-an. Paslah untuk anak-anak yang baru mulai keranjingan membaca. Lagipula alur ceritanya mudah dipahami, liniear, cukup seru dan menegangkan buatku ketika itu. Meski sebenarnya kalau dibaca lagi sekarang cerita dalam buku ini boleh dibilang terlalu sederhana dan minim detail.

Mengisahkan mengenai pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda. Kita dibawa menyimak langsung pengalaman dari sudut pandang si “aku,” seorang prajurit muda bernama Gus (Agus?), dengan gaya penyampaian mirip diari atau jurnal perang.

Cerita diawali dari Gus dan kawannya sesama prajurit yang dipersiapkan di sebuah lokasi di dekat kota Ambon untuk dikirim ke Irian Barat (begitulah penyebutannya, bukan Papua) guna berkonfrontasi lawan Belanda. Suatu malam mereka diberangkatkan dengan menumpangi pesawat Hercules di atas langit Irian. Dalam gelap semua prajurit diterjun-payungkan. Sialnya beberapa kawan mereka ditembaki Belanda dari bawah.

Gus mendarat dengan selamat, namun dia pingsan. Payung Gus ternyata menyangkut di sebuah pohon yang sangat tinggi. Setelah berhasil turun dia menyusuri pekatnya hutan ke arah utara sesuai perintah atasannya. Dia pun bertemu dengan kawan-kawannya. Mereka sepakat untuk tidak meneruskan ke utara, melainkan ke arah pantai.


Pihak Belanda menjadi musuh yang hadir tanpa wajah
Sempat lolos dari sergapan pasukan Belanda, mereka terus menembus hutan hingga berhari-hari. Letih, kehabisan bekal dan amunisi mereka secara kebetulan menjumpai penduduk lokal dan memintanya menunjukkan jalan perkampungannya.

Di perkampungan itu mereka berjumpa dengan kawan-kawan prajurit yang telah lebih dahulu bernaung di sana. Mereka semua diterima dengan baik oleh penduduk kampung. Hingga kemudian memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke pantai.

Dengan dipandu salah seorang penduduk para prajurit itu menuju pantai. Belum jauh mereka segera menemukan selebaran yang menerakan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda serta akan adanya penyerahan Irian asalkan memang rakyat Irian sendiri yang memintanya (refenrendum?).

Awalnya mereka curiga bahwa selebaran ini hanya tipuan Belanda. Tetapi setelah salah seorang dari mereka mencari kabar ke Kaimana terbukti bahwa edaran tersebut memang benar adanya. Mereka semua pun gembira dengan kemenangan ini dan bersiap meninggalkan Irian. Sudah begitu saja. Cerita berakhir di sini. Cukup sederhana kan?

Namun, justru di situlah yang menarik. Buku ini sama sekali absen dari intrik politik dibalik upaya merebut Irian Barat. Bahkan abai pada dimensi kepentingan yang lebih besar, siapa inisiator (Soekarno), siapa komandannya (Soeharto), apa kepentingan misi ini.


Penduduk Irian digambarkan sangat terbelakang. Yang meski ramah dan hangat membuat para prajurit tidak betah berlama-lama menetap di kampung mereka

Karakter si tokoh utama, Gus, terasa sangat naif dan lugu. Gus dan kawan-kawan sesama prajurit di cerita ini tampak tidak tahu apa yang mereka harus perbuat (no idea, no clue istilahnya), atau apa sebenarnya misi mereka. Di dalam buku hanya diindikasikan bahwa mereka di situ hanya untuk membuat pihak Belanda cemas.

Adakah kenaifan tersebut disengaja oleh penulis karena buku ini ditujukan untuk anak-anak? Mungkin saja kurasa.

Bagiku sungguh menggelitik karena petualangan yang dialami Gus dan kawan-kawannya sangat jauh dari heroisme ideal atau patriotisme berapi-api bela negeri. Gus dan kawan-kawannya tampak sangat manusiawi: mereka merasakan keraguan, kebingungan, dan ketakutan menghadapai dua musuh sekaligus: hutan rimba dan Belanda yang mengintai dari kerimbunan. Pendeknya, buku ini adalah cerita kecil mengenai prajurit kecil di tengah masalah besar.

Jika apa yang ada di dalam cerita ini adalah gambaran akurat dan otentik mengenai peristiwa di Irian (Papua) yang sebenarnya. Maka buku ini perlu menjadi dokumen sejarah alternatif untuk  menyibak apa sebenarnya yang terjadi ketika itu di mata prajurit berpangkat rendah. Bahwa peristiwa sejarah dan militeristik nyatanya bukan soal patriotisme semata tapi juga bagaimana menjadi manusia biasa.
      edit

0 komentar:

Posting Komentar