Penulis : A. Soeroto
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta
Tahun terbit : 1974
Jumlah halaman : 52
Gambar oleh : C.Z. Dupe
Gambar oleh : C.Z. Dupe
Nilai : 3 dari 5
Buku ini lagi-lagi seperti
sejumlah postingan di blog ini adalah bacaan dari masa kecilku. Jumlah
halamannya hanya 50-an. Paslah untuk anak-anak yang baru mulai keranjingan
membaca. Lagipula alur ceritanya mudah dipahami, liniear, cukup seru dan menegangkan
buatku ketika itu. Meski sebenarnya kalau dibaca lagi sekarang cerita dalam
buku ini boleh dibilang terlalu sederhana dan minim detail.
Mengisahkan mengenai pembebasan
Irian Barat dari tangan Belanda. Kita dibawa menyimak langsung pengalaman dari
sudut pandang si “aku,” seorang prajurit muda bernama Gus (Agus?), dengan gaya
penyampaian mirip diari atau jurnal perang.
Cerita diawali dari Gus
dan kawannya sesama prajurit yang dipersiapkan di sebuah lokasi di dekat kota
Ambon untuk dikirim ke Irian Barat (begitulah penyebutannya, bukan Papua) guna
berkonfrontasi lawan Belanda. Suatu malam mereka diberangkatkan dengan menumpangi
pesawat Hercules di atas langit Irian. Dalam gelap semua prajurit diterjun-payungkan.
Sialnya beberapa kawan mereka ditembaki Belanda dari bawah.
Gus mendarat dengan
selamat, namun dia pingsan. Payung Gus ternyata menyangkut di sebuah pohon yang
sangat tinggi. Setelah berhasil turun dia menyusuri pekatnya hutan ke arah
utara sesuai perintah atasannya. Dia pun bertemu dengan kawan-kawannya. Mereka
sepakat untuk tidak meneruskan ke utara, melainkan ke arah pantai.
Pihak Belanda menjadi
musuh yang hadir tanpa wajah
|
Sempat lolos dari
sergapan pasukan Belanda, mereka terus menembus hutan hingga berhari-hari.
Letih, kehabisan bekal dan amunisi mereka secara kebetulan menjumpai penduduk
lokal dan memintanya menunjukkan jalan perkampungannya.
Di perkampungan itu mereka
berjumpa dengan kawan-kawan prajurit yang telah lebih dahulu bernaung di sana.
Mereka semua diterima dengan baik oleh penduduk kampung. Hingga kemudian
memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke pantai.
Dengan dipandu salah
seorang penduduk para prajurit itu menuju pantai. Belum jauh mereka segera
menemukan selebaran yang menerakan gencatan senjata antara Indonesia dan
Belanda serta akan adanya penyerahan Irian asalkan memang rakyat Irian sendiri
yang memintanya (refenrendum?).
Awalnya mereka curiga
bahwa selebaran ini hanya tipuan Belanda. Tetapi setelah salah seorang dari
mereka mencari kabar ke Kaimana terbukti bahwa edaran tersebut memang benar
adanya. Mereka semua pun gembira dengan kemenangan ini dan bersiap meninggalkan
Irian. Sudah begitu saja. Cerita berakhir di sini. Cukup sederhana kan?
Namun, justru di
situlah yang menarik. Buku ini sama sekali absen dari intrik politik dibalik
upaya merebut Irian Barat. Bahkan abai pada dimensi kepentingan yang lebih
besar, siapa inisiator (Soekarno), siapa komandannya (Soeharto), apa
kepentingan misi ini.
Penduduk Irian
digambarkan sangat terbelakang. Yang meski ramah dan hangat membuat para
prajurit tidak betah berlama-lama menetap di kampung mereka
|
Karakter si tokoh
utama, Gus, terasa sangat naif dan lugu. Gus dan kawan-kawan sesama prajurit di
cerita ini tampak tidak tahu apa yang mereka harus perbuat (no idea, no clue istilahnya), atau apa
sebenarnya misi mereka. Di dalam buku hanya diindikasikan bahwa mereka di situ
hanya untuk membuat pihak Belanda cemas.
Adakah kenaifan tersebut
disengaja oleh penulis karena buku ini ditujukan untuk anak-anak? Mungkin saja
kurasa.
Bagiku sungguh
menggelitik karena petualangan yang dialami Gus dan kawan-kawannya sangat jauh dari
heroisme ideal atau patriotisme berapi-api bela negeri. Gus dan kawan-kawannya
tampak sangat manusiawi: mereka merasakan keraguan, kebingungan, dan ketakutan menghadapai
dua musuh sekaligus: hutan rimba dan Belanda yang mengintai dari kerimbunan. Pendeknya,
buku ini adalah cerita kecil mengenai prajurit kecil di tengah masalah besar.
0 komentar:
Posting Komentar