Senin, 24 Desember 2018

Ditulis 10.00 oleh with 0 comment

Affandi Pelukis


Judul buku                : Affandi Pelukis
Penulis                      : Nasjah Djamin

Penerbit                    : Aqua Press Bandung
Tahun terbit              : 1979 (cetakan pertama: 1977)
Jumlah halaman       : 84

Nilai                          : 3 dari 5

Satu lagi buku yang masuk kategori “buku cerita” hasil proyek Depdikbud zaman Soeharto. Aku sebutkan di awal karena diam-diam out of nowhere buku ini menjejalkan pujian kepada Soeharto, presiden ketika itu, pada pertengahan buku di saat membicarakan Affandi. 

“Anak desa pun dapat jadi orang, asal rajin dan tekun belajar. Anak desa pun kelak dapat menjadi Menteri, jadi Jenderal, malah jadi Presiden. Seperti halnya Pak Harto, Presiden Negara Republik Indonesia kita yang sekarang!” (Djamin, 1979:44).

Dan, lagi-lagi tipe karangan buku ini persis seperti buku cerita lain yang sudah kuulas sebelumnya di blog ini: Ada sub-plot tokoh utama abal-abal dibangun menuju tokoh utama sebenarnya, dalam hal ini Affandi, namun sub-plot ini posisinya kurang penting walau bukannya tidak relevan atau tidak relatable. Karena setidaknya tokoh sub-plot ini punya latar dan kepribadian.

Pada mulanya kita diperkenalkan kepada seorang anak petani yang masih duduk di kelas 6 SD bernama Agus. Dia tinggal di desa Besi (baca: mbesi) di sekitaran Jalan Kaliurang Yogyakarta. Bakat menggambarnya mengagumkan sehingga suatu kali gurunya memujinya bahwa dia bisa seterkenal Affandi sang pelukis. Dari situ rasa penasaran dan kagum Agus kepada Affandi tumbuh.

Suatu hari pamannya (yang tanpa nama) datang, dia mengajak Agus berkunjung ke Museum Affandi berboncengan naik sepeda motor butut. Setidaknya kita mendapat gambaran seperti apa suasana Jogja akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an (buku ini pertama kali terbit 1977) yang terasa sangat syahdu: kala itu penduduk desa naik cikar (gerobak sapi) ke kota untuk plesiran, jika tidak ya naik bus atau colt yang mulai banyak mondar-mandir dari Yogyakarta-Kaliurang (Djamin, 1979:19). Pemandangan yang sudah lenyap hari ini.

Tapi sayang eh sayang museumnya sedang tutup karena Pak Affandi sedang pergi melukis di Bali. Tuh kan sub-plotnya bertele-tele. Kunjungan dibatalkan, mereka kemudian berbelok ke kos-kosan (disebut pondokan) si Paman dan bertemu dengan [Jeng] Juminten, teman (pacar?) Si Paman. Dia adalah seorang pengarang amatir yang secara kebetulan sedang menulis tentang Affandi. Draf tulisan berjudul “Pelukis Besar Affandi” ini kemudian dibaca oleh Agus (alias kita) dan baru muncul di halaman 33 (hingga 78) dari total 84 halaman!

Membaca draf tulisan Juminten bagai membaca biografi a la Wikipedia. Ringkas, padat, dan seolah tidak ada penyuntingan atas tata kalimat, bahkan urutan peristiwanya meloncat-loncat. Sehingga terbitlah kecurigaanku bahwa draf tulisan ini memang tulisannya ‘Juminten’ sungguhan (maksudnya Juminten benar-benar ada). Mungkin dia temannya Djamin, penulis buku ini.

Inti cerita kurang lebih berkutat pada kerasnya hidup yang dijalani Affandi hingga sukses dikenal sebagai pelukis tetapi tetap bersahaja. Kita diperkenalkan pada masa kecil Affandi yang sudah hobi menggambar. Ayah dan saudara-saudaranya memang menentang hasrat melukis Affandi tersebut, namun dia berhasil membuktikan bahwa dia bisa menghidupi diri, anak, dan istrinya dari hasil melukis setahap demi setahap. Mulanya tentu tidak mudah, sekolah sengaja dia tinggalkan, pekerjaannya pun serabutan, mulai dari guru, tukang cat, penggambar poster reklame, sampai penjaga pintu bioskop sambil terus melukis meskipun tidak kunjung laku.

Keinginannya untuk belajar melukis di sekolah khusus gambar tidak pernah kesampaian. Sempat dia ingin berguru kepada Basuki Abdullah tetapi pelukis terkenal itu tidak berkenan. Affandi kemudian bergabung di Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang terdiri dari pelukis-pelukis yang tidak diakui oleh Belanda karena mereka hanya pelukis otodidak.

Di masa pendudukan Jepang, Affandi bergabung dengan PUTRA (Pusat Tenaga Rakyat) lalu ikut pula dalam SIM (Seniman Muda Indonesia). Di sana dia mulai melukis keadaan rakyat yang melarat dan menderita: romusha yang tubuhnya kurus kering, gelandangan, kuda andong yang kurus, pedagang pasar yang dekil. Dia juga maju ke medan perang untuk melukis suasana pertempuran.

Ketika agresi militer Belanda pecah, Affandi sekeluarga mengungsi ke Jakarta. Di kota yang diduduki Belanda dia tinggal di sebuah garasi di Perguruan Taman Siswa, satu dari wilayah RI di Jakarta selain Gedung Proklamasi (data sejarah bung! RI masih punya wilayah di tengah kekuasaan Belanda). Di situlah dia berjumpa dan melukis Chairil Anwar.

Sesudah kemerdekaan Affandi mendapat beasiswa di sebuah sekolah seni di India. Begitu sampai pihak kampus menilai bahwa kemampuan Affandi sudah sempurna sehingga tidak perlu sekolah lagi. Dia memutuskan untuk berkeliling kota-kota India lanjut ke Eropa sambil terus melukis. Dari sini namanya mulai dikenal publik.

Sekembalinya ke Indonesia, dia ditawari mengajar di ASRI Yogyakarta dan berpameran di Jepang, Brasil, Meksiko, dan Amerika. Di negara yang disebut terakhir ini dia sempat menjadi profesor di Ohio State University. Dari hasil menjual lukisannya dia membangun Museum Affandi di tepi kali Gajahwong. Seperti tema yang senantiasa berulang: kesusahan, keterlunta-luntaan, dan kehinaan yang dialami tokoh utama pun berbuah manis. SELESAI.

Seusai membaca draf tulisan Jum, Si Agus bertandang ke Museum Affandi dan menyimak deskripsi beberapa lukisan via mulut pamannya dan Mbak Jum. Tentu tidak lupa untuk bertemu langsung dengan idolanya tersebut dan mendapat wejangan: “Yang rajin belajar seperti kakek ini. Sudah tua masih belajar, dan ingin belajar terus!”

halaman terakhir yang berisi pesan Affandi kepada kita
Iya, iya. Agus harus rajin belajar sampai tua. KITA pun harus terus belajar sampai tua.
      edit

0 komentar:

Posting Komentar