Minggu, 23 Desember 2018

Ditulis 21.07 oleh with 0 comment

Dongeng dongeng Nusantara


Judul buku                : Dongeng dongeng Nusantara
Penulis                      : Rahmani Rauf

Penerbit                    : CV Rian Utama Jakarta
Tahun terbit              : 1995
Jumlah halaman       : 60
Ilustrasi                    : -

Nilai                          : 3 dari 5

Satu lagi buku proyek Depdikbud, kali ini buah Inpres tahun 1984 namun terbitan 1995(!). Tulisan Rahmani Rauf mengalir lancar, terasa agak terburu-buru, tapi masih enak dibaca. Apakah dia ini Siti Rahmani Rauf penggagas model pengajaran “ini Budi” di buku pelajaran anak SD pada 90-an yang termasyur itu? Bisa jadi. Kita belum tahu pasti.

Aroma saduran dari lima dongeng yang dirangkai di buku ini sangat jelas kentara. Saduran ini seolah sengaja menghilangkan jejak asal dongeng dengan mengganti nama tokoh dan wilayah menjadi lebih berbau dongeng (baca: antah berantah). Adakah lewat keantah-berantahan ini muatan moral diharapkan lebih menonjol dibanding muatan lokalnya?

Kecuali “Rawang Si Takuluk,” menceritakan seorang anak durhaka kepada ibunya yang mengindikasikan lokasi ada di Sumatera Barat dan “Sejuta Kunang-Kunang di Puncak Kalapacung” berkisah tentang seorang anak yang dibuang ibu tirinya yang mungkin berlatar di Purbalingga, tiga lainnya sangat berlatar antah berantah.

Misalnya, ada raja bernama Basidu dan anaknya Pangeran Bagebu dari sebuah kerajaan tanpa nama dalam “Kota Yang Dikutuk,” atau baginda Tuanku Raja Di Atas dengan anaknya Pangeran Mirza dari lagi-lagi kerajaan tanpa nama dalam “Batu Menangis.” Kedua dongeng sama-sama bercerita tentang seorang pangeran yang terasing jauh dari negerinya dan kembali untuk merengkuh apa yang menjadi haknya: menjadi raja yang adil bijaksana.

Uniknya, satu dongeng berjudul “Namanya Hibrida” tidak bernarasi layaknya dongeng. Berkisah tentang Si ‘Ibu’ Pohon Kelapa Hibrida yang memaparkan kepada ‘anak-anaknya’ (yaitu buah-buah kelapa) mengenai asal usul kelapa hibrida secara SAINTIFIK, cerita ini mungkin satu-satunya karangan orisinal Rauf tanpa meminjam teks dongeng lain yang telah mapan. Bukan saja agak berbau program pertanian/perkebunan pemerintah tapi ia hadir bak anomali menyeruak di tengah-tengah kumpulan dongeng. Buatku ketika masih kecil ‘dongeng’ ini sangatlah aneh. Gak seru, gak imajinatif. Namun justru jadi menarik buatku sekarang sebab hal semacam ini amat lumrah di zaman Soeharto. Apakah dongeng ini pesanan pihak tertentu?

Apakah sebuah cerita dapat menjadi “dongeng” hanya dengan membuat tokohnya yang bukan manusia bisa berbicara meski secara narasi tidak terasa seperti dongeng seperti buah kelapa di "Namanya Hibrida" ini?
      edit

0 komentar:

Posting Komentar