Judul buku : Mbis
Penulis : M. Nasin, S.Pd.
Penerbit : Sahala Adidayatama, Jakarta
Tahun terbit : 2003
Jumlah halaman : 80
ISBN : 9789792440010
Ilustrator : Jehezkiel
Desain sampul : Adi Muhammad Gumilar
Beli di : Social Agency Jl. Kaliurang Yogyakarta
Harga beli : Rp. 5000,-
Nilai : 4 dari 5
Sebagai naskah yang
memenangkan sayembara penulisan bacaan Depdiknas (2003) agak mengherankan
bagaimana buku ini ‘hanya’ nangkring di penerbit kecil yang relatif tidak
terkenal. Setidaknya buku model begini hadir dari Balai Pustaka atau Grasindo tapi
nyatanya tidak.
Walau begitu aku bisa
mengerti mengapa buku ini dipilih jadi pemenang. Alur ceritanya menarik nan
seru, dan punya potensi menjadi tulisan yang lebih koheren dan lebih panjang di
tangan penulis yang lebih terampil mengolah ide cerita, atau malah dialih-mediakan
menjadi film anak-anak. Kurasa kalau aku masih kanak-kanak buku ini akan
menjadi favoritku. Sungguh!
Sinopsis cerita adalah
sebagai berikut. Perhatian! Alur kisah cukup panjaaang.
Kita mengikuti
petualangan dari sudut pandang Taufik, seorang bocah (remaja?) asal pulau Jawa
yang berada di tengah perang antar sesama suku Asmat. Ayah Taufik yang adalah
anggota MER-C mengirim Taufik ke Timika untuk bertemu pamannya yang anggota TNI
AU. Namun kapal yang membawanya dari Elat kandas dihantam badai. Dua orang suku
Asmat menyelamatkannya, mereka membawanya ke kampung Agats. Di sana dia berkenalan
dengan seorang pemuda bernama Kelly yang dulunya pernah berkuliah di Bandung
(IAIN Gunung Jati) sehingga dia bisa berbahasa Indonesia. Karena lokasi Timika
jauh dari Agats, Taufik diminta menetap untuk sementara sampai Kelly bisa
mengantarnya ke sana.
Orang Agats tengah
berkonflik dengan orang Syuru yang juga sama-sama suku Asmat. Keadaan sedang sulit,
sumber makanan langka tanpa diketahui penyebabnya sehingga wilayah berburu dan
berladang saling dijaga ketat. Tersiarnya desas-desus bahwa seorang pemuda
Agats mbeter (melarikan) gadis Syuru
memperparah situasi. Suatu hari ketika tengah asyik berlatih memanah, Taufik
dan seorang bocah Agats ditangkap orang Syuru karena dianggap melanggar batas
wilayah. Tampak di sisi Kepala Suku Syuru seorang lelaki bule bernama Godart
yang jelas-jelas menghasut orang Syuru agar mengayau
(memenggal kepala dan memakan) dua bocah itu. Usulan itu tidak saling
disepakati antar mereka.
Hugeis, pemuda Syuru
yang juga kawan baik Kelly membebaskan kedua bocah tersebut dan mengantar
mereka kembali ke Agats. Rombongan itu dikejar, Hugeis kena tembak senjata api
dan diperkirakan mati. Kembali ke kampung Agats, kakek dari Kelly dan Opit
meninggal mendadak. Timbul kecurigaan dari kalangan orang Agats bahwa kematian
Si Kakek akibat ilmu hitam kiriman orang Syuru.
Di kalangan orang Agats
timbul pendapat agar mereka berperang melawan orang Syuru sedangkan sebagian
lain menolaknya. Seorang tetua Agats, Pak Amarok mencegah suasana panas itu
dengan menceritakan legenda Fumiripits yang membuat patung-patung Mbis dan menghidupkannya sehingga
terciptalah suku Asmat, termasuk di antaranya menjadi orang Agats dan Syuru,
sehingga pertumpahan darah sesama saudara tidak bisa dibenarkan. Mereka pun
urung mempersiapkan perang.
Mendengar bahwa orang
Syuru akan melaksanakan upacara perahu yang biasanya dilakukan untuk menyambut
perang, orang Agats mengutus Kelly dkk. termasuk Taufik untuk mengintai.
Sayangnya Kelly dan Taufik tertangkap. Mereka disiksa dan akan dikayau bersamaan dengan rampungnya
perahu. Kelly memperingatkan kepala suku Syuru [dan ini sangat penting untuk
disimak] bahwa ayah Taufik adalah tentara, dan jika terjadi apa-apa kepadanya
kampung ini akan diserbu tentara. Tetapi toh ancaman itu tidak mengendurkan
niatan orang Syuru.
Pada hari yang
ditentukan, Kelly dan Taufik diikat saling membelakangi pada sebilah patok kayu
siap untuk dikayau. Tiba-tiba orang-orang
Agats bersama warga kampung lain datang mengepung kampung Syuru demi mencegah
tradisi mengayau kembali hidup. Di antara mereka hadir Hugeis yang semula
dikira sudah mati. Kepada penduduk kampungnya dia menceritakan bahwa yang
menembak dan membuangnya ke sungai adalah orang suruhan Godart, si bule. Jelas
sudah semua konflik dan kesalahpahaman ini didalangi oleh Godart. Terdesak,
Godart dan anak buahnya melarikan diri ke sungai dengan menaiki perahu.
Selanjutnya Kelly dan
Taufik mengungkap motif adu domba yang dilakukan Godart selama ini. Rupanya dia
menaruh dendam kepada orang Agats karena kakek buyutnya dulu dibunuh oleh buyut
Pak Amarok, tetua kampung Agats. Mereka menemukan bukti bahwa Godart sengaja mematikan
pohon-pohon sagu dan ubi jalar sehingga orang Syuru kesulitan mencari bahan
makanan. Dari situlah Godart masuk membawakan bahan makanan, menyebar isu
mengenai mbeter yang dilakukan pemuda
Agats, dan memengaruhi orang Syuru agar berperang dengan orang Agats.
Keterlibatan militer yang menjadi deux ex machina, persenjataan modern hanya bisa dilawan yang modern juga |
Seluruh warga kampung
yang tadinya berseteru sepakat menghelat upacara Mbis untuk mengikat
persahabatan antara keduanya. Saat tengah larut dalam kegembiraan itu Godart
dan anak buahnya menyerbu dengan senjata api. Kelly tertembak karena berupaya melindungi
Pak Amarok. Di luar dugaan tentara AU yang dipimpin paman Taufik muncul dengan
helikopter (kedatangan mereka sebenarnya adalah untuk menjemput Taufik) mengejar
komplotan Godart yang melarikan diri di atas perahu. Namun karena panik perahu
Godart terbalik dan tidak satu pun dari mereka yang selamat.
Kelly yang terluka
dibawa serta ke Timika untuk mendapat perawatan, Taufik turut serta dan
akhirnya bertemu dengan ayah ibunya. Seminggu kemudian mereka mengantar Kelly
kembali ke Agats di mana dia diangkat menjadi anak angkat Pak Amarok dan Hugeis
menjadi kepala kampung Syuru.
Cukup seru bukan?
Jalinan cerita di atas
tak ayal menyisakan jejak khas karya antropologi (atau secara khusus,
etnografi) dengan aroma detektif cilik, lengkap dengan prasangka awal
penulisnya terhadap orang Papua yang merasuk dalam tokoh Taufik. Tokoh utama
menjadi pengamat yang kadang terlibat namun seringnya sudah punya pengetahuan
khusus terhadap subjek orang Papua, dia kerap terkejut-kejut tapi tenang di
saat bersamaan terhadap adat suku Asmat. Mirip seperti buku Orang Iban karangan Kissumi
Dwiyananingsih, di mana cerita disajikan bak pengamatan atas pengalaman: tokoh
utama adalah orang luar yang kadang mendapat penjelasan atas apa ini-apa itu
dan apa yang terjadi. Tak jarang interaksi tokoh utama dengan tokoh lain
berlangsung bak wawancara, sehingga terasa janggal. Misalnya, Taufik
bertanya “bivak itu apa?”, yang
dijawab oleh Kelly, “bivak itu rumah asli
orang Asmat yang berada di tengah hutan…” keterangan lanjutan Kelly ini
cukup panjang dan runut yang disampaikan dalam satu kalimat.
Pada bagian lain dalam
buku, Taufik banyak bertanya mengenai adat istiadat yang berkaitan dengan
kematian sementara Kelly menjawabnya dengan taktis nan tangkas. Bagian ini
sangat terasa tidak punya hubungan langsung dengan alur cerita dan konflik di
dalamnya, hanya semata ingin menjelaskan kepada pembaca mengenai budaya orang
Asmat yang barangkali aneh nan eksotik bagi orang luar seperti Taufik,
atau…memamerkan bahwa penulis benar-benar melakukan penelitian lapangan sebelum
menulis.
Di sinilah titik yang
buatku menggangu karena penulis terlampau asyik mendeskripsikan apa yang
terjadi seolah tanpa melibatkan si tokoh secara pribadi atau jikalau begitu pun
terasa dipaksakan dan jadi tidak masuk akal. Masa iya, di saat nyawa terancam akan
dikayau masih sempat-sempatnya Taufik
memaparkan detail tradisi upacara perahu yang dilakukan orang Syuru, pilihan
kayunya lah, teknik lah, dan cat yang dipakai untuk mewarnai. Ujungnya, tokoh-tokoh
di dalam cerita hanya menjadi sarana untuk menjelaskan apa yang pernah dilihat atau
diketahui penulisnya.
apakah buku ini masih ada?
BalasHapusmasih
HapusSaya mau beli masih adakah buku itu
BalasHapusApakah buku ini masih tersedia?
BalasHapusmasih belnya lewat onling
HapusHalo belinya gimana ya?
BalasHapusSaya beli di toko buku Social Agency. Ada bagian khusus yang menyediakan buku lawas. Tapi mungkin beli online ada.
Hapus