Jumat, 09 Juni 2017

Ditulis 16.34 oleh with 0 comment

Si Jampang Jago Betawi Kajian Tokoh Komik Ganes TH


Judul buku              : Si Jampang Jago Betawi Kajian Tokoh Dalam Komik Ganes TH
Penulis                    : Paul Heru WIbowo
ISBN                       : 978-979-709-922-0

Penerbit                   : Kompas, Jakarta
Tahun terbit             : 2015
Jumlah halaman       : 230

Harga beli                : Rp. 30.000
Beli di                      : Yogyakarta
Tanggal beli             : 26 Mei 2017
Nilai                         : 4 dari 5

Berhubung tidak banyak buku kajian tentang komik-komik Indonesia apalagi yang ditulis oleh orang Indonesia dalam bahasa Indonesia, buku Si Jampang Jago Betawi, Kajian Tokoh Dalam Komik Ganes TH yang ditulis Paul Heru Wibowo terasa istimewa. Meski begitu bukan berarti buku ini tanpa kekurangan.

Dalam buku ini Wibowo menjelaskan konsep maskulinitas Jampang selaku protagonis, kawan-kawan setianya, musuh-musuhnya (tuan tanah, sesama jago, inspektur Belanda), bahkan hingga tokoh perempuan kekasih Jampang dengan cara membaca aspek visual, kesastraan, serta alur cerita dalam komik. Kesemuanya disandingkan dan diseberangkan sehingga menunjukkan makna maskulinitas yang saling bentrok.

Maskulinitas Jampang (dan tokoh lelaki lainnya) dalam komik mengikuti sejumah arketipe kejantanan lelaki Betawi yang berakar pada tradisi jago, terutama dari segi fisik dan perilaku. Ganes menyajikan ragam maskulinitas yang berbeda-beda, sebagian masuk pada arketip tentang protagonis (yang rupa fisiknya indah) dan antagonis (yang rupa fisiknya buruk), namun sebagian kecil tidak mengacu pada konvensi ini. Sayangnya istilah intertekstualitas dalam buku ini kerap dipertukarkan dengan pengaruh (influence) atau pengulangan kode dalam produk budaya populer, padahal keduanya tidaklah sama. Bagiku istilahnya lebih tepat pengaruh. Tampaknya memang pengaruh komik superhero Amerika, film samurai Jepang, dan spaghetti western pada  masa 1960-an sangat mewarnai komik Si Jampang. Ini terlihat secara sekilas dari profil fisik Jampang yang berbeda dengan penduduk Betawi masa VOC.

Satu hal mengenai influence ini yang cukup mengganggu adalah Raisan yang kebal peluru disebut terpengaruh komik Superman. Padahal dalam ranah lokal memang ada ilmu kebal yang sudah lama digaungkan dalam posisinya yang berhadapan dengan senjata api, sesuatu yang menjadi mitos. Karena itulah kelemahan ilmu kebal Raisan dan jago lain adalah daun kelor, sesuatu yang tidak dikenal di dunia Barat (Superman lemah terhadap batu Kripton). Sesuatu yang bisa saja dibaca sebentuk proses pelokalan naratif jika mau. Ilmu kebal para jago ini anehnya sudah disebut Wibowo di pertengahan buku, tapi dilupakan olehnya.

Pada bagian akhir buku Wibowo mempertanyakan motivasi tindakan Jampang terkait persoalan asmaranya dan menyebut Ganes belum menempatkan maskulinitas dalam konteks lebih natural. Entah apa yang dimaksud "natural" oleh Wibowo. Bagiku riwayat hidup Jampang yang punya daddy issue, pernah terlibat dalam dunia kejahatan, dan inisiasinya di penjara mungkin menjadi penting untuk menjawab pertanyaan yang diajukannya. Ketika Rabiah istrinya bunuh diri, Jampang sebetulnya tengah meredam emosinya. Ini kemudian terbukti dari kesadisannya saat membunuh Inspektur Frans yang secara tak langsung menyebabkan kematian Rabiah. Begitu pula soal konfliknya dengan Mandor Jun, yang malah tidak membawa-bawa Sari kekasihnya (ingat Jampang juga menolak kawin lari!), melainkan mengatasnamakan penderitaan penduduk kampung. Keduanya kubaca sebagai pengalihan isu demi meredam gejolak emosi Si Jampang, karena dalam konstruksinya laki-laki tidak izinkan terlihat lemah apalagi hanya untuk urusan perempuan. Sama pula untuk Mpok Iti, dia mengalah karena sebagai jago dia juga tak punya hak untuk membela cintanya terlebih Mpok Iti tidak mengambil sikap yang jelas.

Di sini kesannya memang benar seperti ditulis Wibowo bahwa perempuan menjadi penghalang maskulinitas laki-laki. Namun bagiku perempuan bukan sekadar penghalang seperti yang tampak pada permukaan. Justru tokoh-tokoh perempuan sangat membantu terciptanya makna maskulinitas karena peran mereka dalam kutub berlawanan dari laki-laki. Malah sebenarnya tokoh perempuan ini cukup kaya karakterisasi. Wibowo sendiri sudah menulis bahwa Sari adalah perempuan yang berani menentang patriarki, Rabiah adalah perempuan berani karena itu dia bunuh diri, sedangkan Mpok Iti adalah perempuan yang serba ketergantungan dan ingin diinginkan (menurutku sih damsel in distress). Tapi dalam kesimpulan ini dipukul rata oleh Wibowo bahwa perempuan adalah penghalang konstruksi kejantanan.

Buku ini sama sekali absen membahas Si Jampang sendiri dari segi fakta sejarah, versi cerita rakyat, versi cerita bersambung Zaidin Wahab, dan kemitosannya. Bagiku ini penting meski hanya satu bab saja karena dalam kesimpulan Wibowo menulis bahwa Ganes TH melakukan reinterpretasi dan rekonstruksi terhadap Jampang. Pembaca tidak akan tahu dan terpaksa harus mencari tahu sendiri seberapa jauh pergeseran Jampang dari “cerita aslinya.” Ketiadaan informasi mengenai Jampang dari segi yang kutulis di atas membuat kesimpulan tersebut agak terburu-buru. Seperti juga segenap kesimpulan dalam buku yang  cenderung mengarahkan pada kesimpulan tertentu dan menutupi bahwa data-data bisa berkata lebih. 

Secara keseluruhan aku merasa pembahasan Wibowo lebih ke semi-akademis sehingga analisisnya mirip komentar yang kemudian dipadukan dengan konstruksi maskulinitas dalam produk budaya populer 1960-an namun tanpa dielaborasi lebih mendalam. Sebagai buku yang diangkat dari tesis buatku ini amat tanggung. Kurasa penerbit Kompas (dan juga Gramedia) yang selain gemar mengobral buku dengan harga jatuh sejatuhnya dan jarang sekali menerbitkan buku akademis, turut ambil peran mengapa buku ini jadi sedemikian pop dan menjauh dari ranah “berat” akademis. Jadi penasaran sebanyak apa tulisan yang dibabat dari naskah tesis aslinya.



      edit

0 komentar:

Posting Komentar