Judul buku : Si Jampang Jago Betawi Kajian Tokoh Dalam Komik Ganes TH
Penulis : Paul Heru WIbowo
ISBN : 978-979-709-922-0
Penerbit : Kompas, Jakarta
Tahun terbit : 2015
Jumlah halaman : 230
Harga beli : Rp. 30.000
Beli di : Yogyakarta
Tanggal beli : 26 Mei 2017
Nilai : 4 dari 5
Berhubung tidak banyak buku kajian tentang komik-komik
Indonesia apalagi yang ditulis oleh orang Indonesia dalam bahasa Indonesia,
buku Si Jampang Jago Betawi, Kajian Tokoh
Dalam Komik Ganes TH yang ditulis Paul Heru Wibowo terasa istimewa. Meski begitu
bukan berarti buku ini tanpa kekurangan.
Dalam buku ini Wibowo menjelaskan konsep maskulinitas Jampang
selaku protagonis, kawan-kawan setianya, musuh-musuhnya (tuan tanah, sesama
jago, inspektur Belanda), bahkan hingga tokoh perempuan kekasih Jampang dengan cara
membaca aspek visual, kesastraan, serta alur cerita dalam komik. Kesemuanya
disandingkan dan diseberangkan sehingga menunjukkan makna maskulinitas yang
saling bentrok.
Maskulinitas Jampang (dan tokoh lelaki lainnya) dalam komik mengikuti
sejumah arketipe kejantanan lelaki Betawi yang berakar pada tradisi jago,
terutama dari segi fisik dan perilaku. Ganes menyajikan ragam maskulinitas yang
berbeda-beda, sebagian masuk pada arketip tentang protagonis (yang rupa
fisiknya indah) dan antagonis (yang rupa fisiknya buruk), namun sebagian kecil
tidak mengacu pada konvensi ini. Sayangnya istilah intertekstualitas dalam buku
ini kerap dipertukarkan dengan pengaruh (influence)
atau pengulangan kode dalam produk budaya populer, padahal keduanya tidaklah
sama. Bagiku istilahnya lebih tepat pengaruh. Tampaknya memang pengaruh komik
superhero Amerika, film samurai Jepang, dan spaghetti
western pada masa 1960-an sangat
mewarnai komik Si Jampang. Ini
terlihat secara sekilas dari profil fisik Jampang yang berbeda dengan penduduk
Betawi masa VOC.
Satu hal mengenai influence
ini yang cukup mengganggu adalah Raisan yang kebal peluru disebut terpengaruh komik
Superman. Padahal dalam ranah lokal memang ada ilmu kebal yang sudah lama
digaungkan dalam posisinya yang berhadapan dengan senjata api, sesuatu yang
menjadi mitos. Karena itulah kelemahan ilmu kebal Raisan dan jago lain adalah
daun kelor, sesuatu yang tidak dikenal di dunia Barat (Superman lemah terhadap
batu Kripton). Sesuatu yang bisa saja dibaca sebentuk proses pelokalan naratif jika
mau. Ilmu kebal para jago ini anehnya sudah disebut Wibowo di pertengahan buku,
tapi dilupakan olehnya.
Pada bagian akhir buku Wibowo mempertanyakan motivasi
tindakan Jampang terkait persoalan asmaranya dan menyebut Ganes belum
menempatkan maskulinitas dalam konteks lebih natural. Entah apa yang dimaksud "natural" oleh Wibowo. Bagiku riwayat hidup Jampang yang punya daddy issue, pernah terlibat dalam dunia
kejahatan, dan inisiasinya di penjara mungkin menjadi penting untuk menjawab
pertanyaan yang diajukannya. Ketika Rabiah istrinya bunuh diri, Jampang
sebetulnya tengah meredam emosinya. Ini kemudian terbukti dari kesadisannya
saat membunuh Inspektur Frans yang secara tak langsung menyebabkan kematian Rabiah.
Begitu pula soal konfliknya dengan Mandor Jun, yang malah tidak membawa-bawa Sari
kekasihnya (ingat Jampang juga menolak kawin lari!), melainkan mengatasnamakan penderitaan
penduduk kampung. Keduanya kubaca sebagai pengalihan isu demi meredam gejolak
emosi Si Jampang, karena dalam konstruksinya laki-laki tidak izinkan terlihat
lemah apalagi hanya untuk urusan perempuan. Sama pula untuk Mpok Iti, dia
mengalah karena sebagai jago dia juga tak punya hak untuk membela cintanya
terlebih Mpok Iti tidak mengambil sikap yang jelas.
Di sini kesannya memang benar seperti ditulis Wibowo bahwa
perempuan menjadi penghalang maskulinitas laki-laki. Namun bagiku perempuan
bukan sekadar penghalang seperti yang tampak pada permukaan. Justru tokoh-tokoh
perempuan sangat membantu terciptanya makna maskulinitas karena peran mereka
dalam kutub berlawanan dari laki-laki. Malah sebenarnya tokoh perempuan ini
cukup kaya karakterisasi. Wibowo sendiri sudah menulis bahwa Sari adalah
perempuan yang berani menentang patriarki, Rabiah adalah perempuan berani
karena itu dia bunuh diri, sedangkan Mpok Iti adalah perempuan yang serba
ketergantungan dan ingin diinginkan (menurutku sih damsel in distress). Tapi dalam kesimpulan ini dipukul rata oleh Wibowo
bahwa perempuan adalah penghalang konstruksi kejantanan.
Buku ini sama sekali absen membahas Si Jampang sendiri dari
segi fakta sejarah, versi cerita rakyat, versi cerita bersambung Zaidin Wahab,
dan kemitosannya. Bagiku ini penting meski hanya satu bab saja karena dalam
kesimpulan Wibowo menulis bahwa Ganes TH melakukan reinterpretasi dan
rekonstruksi terhadap Jampang. Pembaca tidak akan tahu dan terpaksa harus
mencari tahu sendiri seberapa jauh pergeseran Jampang dari “cerita aslinya.”
Ketiadaan informasi mengenai Jampang dari segi yang kutulis di atas membuat kesimpulan
tersebut agak terburu-buru. Seperti juga segenap kesimpulan dalam buku yang cenderung mengarahkan pada kesimpulan
tertentu dan menutupi bahwa data-data bisa berkata lebih.
Secara keseluruhan aku merasa pembahasan Wibowo lebih ke semi-akademis
sehingga analisisnya mirip komentar yang kemudian dipadukan dengan konstruksi
maskulinitas dalam produk budaya populer 1960-an namun tanpa dielaborasi lebih
mendalam. Sebagai buku yang diangkat dari tesis buatku ini amat tanggung.
Kurasa penerbit Kompas (dan juga Gramedia) yang selain gemar mengobral
buku dengan harga jatuh sejatuhnya dan jarang sekali menerbitkan buku akademis,
turut ambil peran mengapa buku ini jadi sedemikian pop dan menjauh dari ranah “berat”
akademis. Jadi penasaran sebanyak apa tulisan yang dibabat dari naskah tesis
aslinya.
0 komentar:
Posting Komentar