Penulis : Wibisono
ISBN : -
Penerbit : C.V. Indrapress/Si Kuncung, Jakarta
Tahun terbit : 1974
Jumlah halaman : 56
Desain cover : S. Wibisono (ilustrator)
Nilai : 2,5 dari 5
Kabut di Taman Gilingwesi
adalah lakon wayang pembuka yang dijadikan judul dari sebelas lakon pewayangan
dalam buku ini. Ilustrasi yang disertakan adalah ilustrasi wayang kulit bergaya
dekoratif. Buku ini sekali lagi seperti buku-buku bunga rampai cerita yang
kupunya ditujukan bagi anak-anak. Terutama dalam memperkenalkan bahwa dunia wayang Nusantara
pun tak kalah ajaib dan serunya (karena lebih banyak pertarungan) dari dongeng-dongeng impor. Banyak lakon dalam buku ini yang tidak mudah dijumpai (mungkin karena aku kurang mengenal wayang), tapi yang jelas lakon-lakon di sini merupakan bagian kecil dari bagian yang jauh lebih besar lagi. Akibatnya cerita seperti seakan langsung menempatkan pembaca di tengah konflik tanpa tahu latar belakang apa yang terjadi sebelumnya.
Seperti umumnya cerita wayang, tokoh baik dan jahat
tampil cukup tegas antara putih dan hitam, jarang menyentuh wilayah abu-abu. Di
sini pun begitu, kecuali lakon “Kabut di Taman Gilingwesi” yang cukup tragis sekaligus membingungkan karena mengingatkan pada
cerita Sangkuriang/Tangkuban Parahu. Dikisahkan Dewi Sinta dari kerajaan Purwakanda
ternyata selama ini menikahi putranya sendiri, Prabu Watugunung.
Ia baru menyadari hal tersebut setelah melihat bekas luka pukulan sendok di ubun-ubun sang prabu. Ia lalu meminta Prabu Watugunung (anaknya) agar beristrikan bidadari surga, bukan dirinya. Sang prabu setuju lalu dia dan rombongan berangkat ke surga untuk meminta seorang bidadari. Sampai di sana si prabu mengajukan teka-teki kepada para Dewata. Jika mereka tidak dapat menjawabnya maka seorang bidadari harus diserahkan kepadanya, tapi jika para Dewata dapat menjawab maka Prabu Watugunung rela menyerahkan nyawanya. Ternyata para Dewa bisa menjawab teka-teki itu, Prabu Watugunung pun dibunuh. Dewi Sinta sangat bersedih. Para Dewata ikut bersedih. Akhirnya mereka berdua diangkat ke surga untuk kembali bersatu sebagai dewa dan dewi. Aneh kan? Jadi oedipus complex-nya Dewi Sinta dan putranya malah diterusin di surga.
Ia baru menyadari hal tersebut setelah melihat bekas luka pukulan sendok di ubun-ubun sang prabu. Ia lalu meminta Prabu Watugunung (anaknya) agar beristrikan bidadari surga, bukan dirinya. Sang prabu setuju lalu dia dan rombongan berangkat ke surga untuk meminta seorang bidadari. Sampai di sana si prabu mengajukan teka-teki kepada para Dewata. Jika mereka tidak dapat menjawabnya maka seorang bidadari harus diserahkan kepadanya, tapi jika para Dewata dapat menjawab maka Prabu Watugunung rela menyerahkan nyawanya. Ternyata para Dewa bisa menjawab teka-teki itu, Prabu Watugunung pun dibunuh. Dewi Sinta sangat bersedih. Para Dewata ikut bersedih. Akhirnya mereka berdua diangkat ke surga untuk kembali bersatu sebagai dewa dan dewi. Aneh kan? Jadi oedipus complex-nya Dewi Sinta dan putranya malah diterusin di surga.
Bagian dalam buku. Lakon "Pengabdian Sumantri" |
0 komentar:
Posting Komentar