Judul buku : Sepasar dan Satu Malam
Penulis : Ny. Husein Djajadiningrat
Penerbit : Balai Pustaka, jakarta
Tahun terbit : 1975 (cetakan pertama 1971)
Jumlah halaman : 55
Gambar kulit : Dahlan Djazh (ilustrator)
Nilai : 2,5 dari 5
Sepasar Satu Malam
sebetulnya adalah kumpulan dongeng Nusantara. Tapi ia disajikan tidak seperti biasanya
(dongeng-dongeng dalam satu buku yang seolah “lepas” satu dengan lainnya), melainkan
mencoba meniru gaya legenda Seribu Satu
Malam. Penceritanya tentu bukan Scheherazade kepada raja tapi...seperti mungkin
telah kamu duga, seorang nenek kepada cucu-cucunya.
Masing-masing dongeng disampaikan Si Nenek setiap malam selama “sepasar” menginap di rumah anaknya. Sepasar adalah lima hari pasaran menurut kalender Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon), tapi dongeng yang disajikan berjumlah enam karena malam di hari kedatangan Nenek rangkaian dongeng langsung dimulai.
Namun,...model penceritaan inilah yang menimbulkan ketersendatan alur dan ruang. Sedikit sedikit kenikmatan kita sebagai pembaca diinterupsi oleh bukan saja perbincangan Si Nenek dengan cucu-cucunya tapi juga suasana liburan Si Nenek di rumah anaknya. Misalnya: ketika Si Nenek asyik mendongeng, tiba-tiba seorang cucunya bertanya ini-itu, memotong dongeng tanpa ada jeda tegas, mana dongeng mana obrolan santai. Bisa dibayangkan pemotongan ruang/waktu yang terjadi?
Penasaran juga sebetulnya mengapa model sub-plot yang berada di luar plot utama begitu sering dipakai di buku-buku cerita lawas era Soeharto. Hampir semua buku cerita lawas yang kumiliki memakai model ini. Penulis seolah ingin membuat suasana yang privat untuknya dengan harapan mengakrabkan situasi itu kepada pembaca tetapi sekaligus mengurangi hubungan privat pembaca dengan dongeng yang tengah disajikan.
Masing-masing dongeng disampaikan Si Nenek setiap malam selama “sepasar” menginap di rumah anaknya. Sepasar adalah lima hari pasaran menurut kalender Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon), tapi dongeng yang disajikan berjumlah enam karena malam di hari kedatangan Nenek rangkaian dongeng langsung dimulai.
Namun,...model penceritaan inilah yang menimbulkan ketersendatan alur dan ruang. Sedikit sedikit kenikmatan kita sebagai pembaca diinterupsi oleh bukan saja perbincangan Si Nenek dengan cucu-cucunya tapi juga suasana liburan Si Nenek di rumah anaknya. Misalnya: ketika Si Nenek asyik mendongeng, tiba-tiba seorang cucunya bertanya ini-itu, memotong dongeng tanpa ada jeda tegas, mana dongeng mana obrolan santai. Bisa dibayangkan pemotongan ruang/waktu yang terjadi?
Penasaran juga sebetulnya mengapa model sub-plot yang berada di luar plot utama begitu sering dipakai di buku-buku cerita lawas era Soeharto. Hampir semua buku cerita lawas yang kumiliki memakai model ini. Penulis seolah ingin membuat suasana yang privat untuknya dengan harapan mengakrabkan situasi itu kepada pembaca tetapi sekaligus mengurangi hubungan privat pembaca dengan dongeng yang tengah disajikan.
Beberapa dongengnya sudah cukup
dikenal: pada malam pertama (Kamis Pon) Nenek menceritakan “Walang Sintrong.” Joko Sembotok tinggal bersama ibunya di sebuah desa. Mereka bekerja sebagai petani sayur. Suatu hari banyak dari ketimun mereka raib dicuri. Joko pun berhasil menangkap pelakunya yang ternyata adalah seekor belalang raksasa. Joko dan ibunya hendak membunuhnya, namun Si Belalang dapat berbicara dan memohon ampun kepadanya. Joko memanfaatkan kemampuan Si Belalang ini untuk bertaruh dengan orang-orang yang lewat di jalan bahwa dia memiliki belalang yang dapat bernyanyi. Dia pun sukses memeras orang-orang yang awalnya tidak percaya sehingga dia menjadi kaya raya. Sampai suatu waktu Si Walang Sintrong tewas terinjak pengendara kuda. Joko dan Ibunya pun kembali menjadi petani sayur.
Malam kedua (Jumat Wage) “Paman Bangau.” Cerita klasik kecerdikan ikan yang lolos dari paruh bangau. Tapi diperpanjang sedikit dengan kisah yang tidak relevan ketika Si Bangau tidak sengaja memecahkan telur burung gemak lalu menebus kesalahannya dengan membawakan batu bata halus supaya gemak bisa bertelur lagi (?).
Malam ketiga (Sabtu Kliwon) “Timun Mas dan Gajah Barong Mata Singa,” dongeng klasik yang kita semua sudah tahu. Malam keempat (Minggu Legi) “Panji Laras.” Lagi-lagi dongeng klasik tapi disertai Plot twist: ibu Panji Laras adalah Timun Mas. Malam kelima (Senin Pahing) “Nini Buto Ijo” alias Bawang Merah bawang Putih. Malam keenam alias terakhir (Selasa Pon) “Raja Ulat.”
Dongeng penutup ini agak what the fuck. Saking what the fuck-nya sampai malas sebenarnya aku menyinopsiskan. Bukan saja antiklimaks (karena idealnya cerita penutup harusnya paling bagus) tapi dongeng ini anonim (tanpa nama tokoh) dan pondasi narasinya hanya berdasar pamali. Ceritanya ada seorang gadis cantik (dia hanya disebut "gadis cantik") yang somse (sombong sekali, yee kelihatan umurnya pake akronim jadul). Semua laki-laki ditolaknya. Sehingga usianya nyaris uzur. Dia pun stres dan sering tidur di emper rumah walaupun sudah dilarang orang tuanya. Dia mendapat mimpi bertemu seorang lelaki tampan yang datang melamarnya. Lelaki itu ternyata ada sungguhan, dia melamar Si Gadis lalu menikahinya. Besok harinya kedua pengantin tidak kunjung keluar dari kamar. Setelah pintu dibuka paksa Si Gadis (yang tidak 'gadis' lagi, ehm) tewas dipeluk ulat raksasa yang juga sudah mati. Si Ulat ternyata adalah jelmaan Raja Ulat. Kesimpulan Si Nenek pencerita: Jangan melangar pamali, yaitu tidur di emper rumah atau kamu akan dibunuh raja ulat. AH, Si Nenek juga lupa soal pamali, jangan akhiri dongeng dengan cerita yang what the fuck.
bagian dalam buku dongeng "Walang Sintrong"
|
Malam kedua (Jumat Wage) “Paman Bangau.” Cerita klasik kecerdikan ikan yang lolos dari paruh bangau. Tapi diperpanjang sedikit dengan kisah yang tidak relevan ketika Si Bangau tidak sengaja memecahkan telur burung gemak lalu menebus kesalahannya dengan membawakan batu bata halus supaya gemak bisa bertelur lagi (?).
Malam ketiga (Sabtu Kliwon) “Timun Mas dan Gajah Barong Mata Singa,” dongeng klasik yang kita semua sudah tahu. Malam keempat (Minggu Legi) “Panji Laras.” Lagi-lagi dongeng klasik tapi disertai Plot twist: ibu Panji Laras adalah Timun Mas. Malam kelima (Senin Pahing) “Nini Buto Ijo” alias Bawang Merah bawang Putih. Malam keenam alias terakhir (Selasa Pon) “Raja Ulat.”
Dongeng penutup ini agak what the fuck. Saking what the fuck-nya sampai malas sebenarnya aku menyinopsiskan. Bukan saja antiklimaks (karena idealnya cerita penutup harusnya paling bagus) tapi dongeng ini anonim (tanpa nama tokoh) dan pondasi narasinya hanya berdasar pamali. Ceritanya ada seorang gadis cantik (dia hanya disebut "gadis cantik") yang somse (sombong sekali, yee kelihatan umurnya pake akronim jadul). Semua laki-laki ditolaknya. Sehingga usianya nyaris uzur. Dia pun stres dan sering tidur di emper rumah walaupun sudah dilarang orang tuanya. Dia mendapat mimpi bertemu seorang lelaki tampan yang datang melamarnya. Lelaki itu ternyata ada sungguhan, dia melamar Si Gadis lalu menikahinya. Besok harinya kedua pengantin tidak kunjung keluar dari kamar. Setelah pintu dibuka paksa Si Gadis (yang tidak 'gadis' lagi, ehm) tewas dipeluk ulat raksasa yang juga sudah mati. Si Ulat ternyata adalah jelmaan Raja Ulat. Kesimpulan Si Nenek pencerita: Jangan melangar pamali, yaitu tidur di emper rumah atau kamu akan dibunuh raja ulat. AH, Si Nenek juga lupa soal pamali, jangan akhiri dongeng dengan cerita yang what the fuck.
0 komentar:
Posting Komentar