Jumat, 07 Agustus 2015

Ditulis 08.28 oleh with 0 comment

Pergi Ke Toko Wayang



sampul dengan jaket buku
Judul buku                : Pergi Ke Toko Wayang
Penulis                      : Gunawan Maryanto
ISBN                        : 978-602-70286-5-4

Penerbit                    : Tan Kinira Books, Yogyakarta
Tahun terbit              : 2015
Jumlah halaman         : 175
Desain cover             : Bambang Erlangga

Harga beli                 : Rp. 50.000,-
Beli di                       : Penerbitnya langsung
Tanggal beli               : 28 Mei 2015
Nilai                          : 4 dari 5

Buku kumcerpen Pergi ke Toko Wayang seperti sebuah dunia asing buatku (tapi kamu pasti sering mendengar review dengan kata-kata macam ini: “dunia asing”), masalahnya buku kumcerpen ini sungguh terasa asing bagiku. Dan bila membaca profil penulis di akhir buku, baru aku mengerti mengapa terasa ada jarak antara gaya menulis Gunawan Maryanto denganku. Dia adalah orang teater. Orang teater yang menyukai ke-tragedi-an lagi (padahal aku gak hobi tragedi, hidupku sudah cukup tragis...jadi curcol deh:). Tulisan di buku ini pun bergaya teater (barangkali), ia diperlakukan seperti teater kehidupan. Aku tak tahu betul sih sebab jarang menonton teater. Tapi justru dengan buku ini aku jadi sedikit tahu gaya-gaya dunia teater itu seperti apa. Dan bicara soal teater kehidupan (yang aku tidak banyak tahu apa-apa mengenainya), buku kumcerpen ini berisi drama-drama yang...aku sendiri tidak tahu kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Nestapa mungkin cukup tepat.

Jika dapat dibelah maka dalam buku ini terdiri dua nuansa tulisan: yang pertama berkisah mengenai kehidupan sehari-hari (tapi belum tentu bisa dijumpai pembaca), yang kedua berkisah tentang tafsir baru mengenai sebuah kisah yang sudah ada sebelumnya, atau dengan kata lain penulisnya melakukan sebuah demitologisasi. Pada bagian yang pertama si penulis sepertinya cinta dengan kisah sendu dan tragis lalu lupa untuk bersenang-senang (menyenangkan pembacanya). Ini terlihat pada cerpen “Mbak Mendut” dan “Alibasyah.” Pembaca (aku) dibuat kecewa dengan akhir yang diberikan penulis terhadap karakter di mana pembaca telah menjalin ikatan dengannya. Yah, mungkin maksudnya memang kehidupan nyata tidak pernah semulus harapan dan cerpen ini adalah representasi pahitnya kehidupan itu. Sekalipun begitu masih ada cerpen yang punya “perlakuan menyenangkan” seperti “Ranggalawe Gugur” dan “Sumadi Becak.” Kenapa? Karena kedua cerpen ini menggelitiku dengan senyum di bagian pungkasannya.

Soal bagian yang kedua lebih unik lagi. Permulaan membaca aku seakan merasa penulisnya adalah seorang yang sombong dan menikmati sekali kemahirannya bermain kata dan terutama ingin memamerkan pengetahuannya akan teks/naskah lawas seperti yang tercantum pada sebagian cerpen. Namun hal ini bisa juga dipahami bahwa penulisnya seperti mau mengajak pembaca mengenali teks/naskah lawas warisan masa lalu yang dijadikan bahan inspirasi cerita. Sayangnya sangat mungkin orang jadi tidak tahu dan tidak mau mencari tahu lebih jauh teks/naskah asli yang disebutkan penulisnya, atau malah pembaca jadi tidak tahu seberapa orisinil cerpen yang ditulis. Misalnya pada cerpen “Kepergian Sutasoma” yang di bagian awal ditulis: “cerita ini berangkat dari kakawin Sutasoma yang ditulis antara tahun 1365-1389, pada saat Majapahit diperintah oleh Rajasanegara.” Atau pada cerpen “Kobatsah” yang di awal ditulisi: “Kisah ini berangkat dari Serat Menak karya R. Ng. Yosodipuro yang digubah dari Serat Menak Kartasura yang ditulis Carik Narawita dari khazanah sastra Melayu Hikayat Amir Hamzah yang diturunkan dari Qissa il Emir Hamza wiracarita dari Parsi.” Sehingga terbit pertanyaan semacam: “cerita aslinya kayak apa ya?” atau “seberapa jauh penafsiran baru si penulis?” Setidaknya toh cerpen-cerpen ini hadir kepada pembaca dengan cara demitologisasi.

Demitologisasi inilah agaknya yang menjadi salah satu pangkal kenapa tulisan Gunawan Maryanto berasa asing. Cara dia melakukannya (sepertinya) bukan sekedar dengan membalik tafsir cerita yang telah ada, melainkan juga dengan melengkapi atau menambal kekurangan kisah-kisah dari teks/naskah lawas tadi. Dengan begini dia sudah melakukan cara kerja yang mirip seorang peneliti, yaitu memperbesar dan meluaskan peta per-kisah-an. Makanya kok ada Panji Laras main sepak bola di cerpen “Panji Laras.” Ada surat yang ‘ditulis’ Arya Mangkunegara kepada seorang Belanda di cerpen “Pengakuan Arya Mangkunegara di Hadapan Willem Ter Smitten.” Ada wawancara dengan pembunuh Panji Reni di “Panji Reni.” Dengan begini kuumumkan bahwa aku memberi buku ini nilai 4 dari 5.

Cerpen favoritku adalah Kobatsah, Pergi ke Toko Wayang, dan Ranggalawe Gugur.

      edit

0 komentar:

Posting Komentar