Penulis : Gunawan Maryanto
ISBN : 978-602-70286-5-4
Penerbit : Tan Kinira Books, Yogyakarta
Tahun terbit : 2015
Jumlah halaman : 175
Desain cover : Bambang Erlangga
Desain cover : Bambang Erlangga
Harga beli : Rp. 50.000,-
Beli di : Penerbitnya langsung
Tanggal beli : 28 Mei 2015
Nilai : 4 dari 5
Buku kumcerpen Pergi ke Toko Wayang seperti sebuah dunia
asing buatku (tapi kamu pasti sering mendengar review dengan kata-kata macam ini: “dunia asing”), masalahnya buku
kumcerpen ini sungguh terasa asing bagiku. Dan bila membaca profil penulis di
akhir buku, baru aku mengerti mengapa terasa ada jarak antara gaya menulis
Gunawan Maryanto denganku. Dia adalah orang teater. Orang teater yang menyukai ke-tragedi-an
lagi (padahal aku gak hobi tragedi, hidupku sudah cukup tragis...jadi curcol
deh:). Tulisan di buku ini pun bergaya teater (barangkali), ia diperlakukan seperti
teater kehidupan. Aku tak tahu betul sih sebab jarang menonton teater. Tapi justru
dengan buku ini aku jadi sedikit tahu gaya-gaya dunia teater itu seperti apa.
Dan bicara soal teater kehidupan (yang aku tidak banyak tahu apa-apa
mengenainya), buku kumcerpen ini berisi drama-drama yang...aku sendiri tidak tahu
kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Nestapa mungkin cukup tepat.
Jika dapat dibelah maka dalam buku
ini terdiri dua nuansa tulisan: yang pertama berkisah mengenai kehidupan sehari-hari
(tapi belum tentu bisa dijumpai pembaca), yang kedua berkisah tentang tafsir
baru mengenai sebuah kisah yang sudah ada sebelumnya, atau dengan kata lain penulisnya
melakukan sebuah demitologisasi. Pada bagian yang pertama si penulis sepertinya cinta dengan kisah sendu dan
tragis lalu lupa untuk bersenang-senang (menyenangkan pembacanya). Ini terlihat
pada cerpen “Mbak Mendut” dan “Alibasyah.” Pembaca (aku) dibuat kecewa dengan akhir
yang diberikan penulis terhadap karakter di mana pembaca telah menjalin ikatan dengannya.
Yah, mungkin maksudnya memang kehidupan nyata tidak pernah semulus harapan dan cerpen
ini adalah representasi pahitnya kehidupan itu. Sekalipun begitu masih ada
cerpen yang punya “perlakuan menyenangkan” seperti “Ranggalawe Gugur” dan “Sumadi
Becak.” Kenapa? Karena kedua cerpen ini menggelitiku dengan senyum di bagian pungkasannya.
Soal bagian yang kedua lebih unik lagi. Permulaan membaca
aku seakan merasa penulisnya adalah seorang yang sombong dan menikmati sekali kemahirannya
bermain kata dan terutama ingin memamerkan pengetahuannya akan teks/naskah
lawas seperti yang tercantum pada sebagian cerpen. Namun hal ini bisa juga dipahami
bahwa penulisnya seperti mau mengajak pembaca mengenali teks/naskah lawas warisan
masa lalu yang dijadikan bahan inspirasi cerita. Sayangnya sangat mungkin orang
jadi tidak tahu dan tidak mau mencari tahu lebih jauh teks/naskah asli yang disebutkan
penulisnya, atau malah pembaca jadi tidak tahu seberapa orisinil cerpen yang ditulis.
Misalnya pada cerpen “Kepergian Sutasoma” yang di bagian awal ditulis: “cerita
ini berangkat dari kakawin Sutasoma yang ditulis antara tahun 1365-1389, pada saat
Majapahit diperintah oleh Rajasanegara.” Atau pada cerpen “Kobatsah” yang di
awal ditulisi: “Kisah ini berangkat dari Serat Menak karya R. Ng. Yosodipuro yang
digubah dari Serat Menak Kartasura yang ditulis Carik Narawita dari khazanah
sastra Melayu Hikayat Amir Hamzah yang diturunkan dari Qissa il Emir Hamza
wiracarita dari Parsi.” Sehingga terbit pertanyaan semacam: “cerita aslinya
kayak apa ya?” atau “seberapa jauh penafsiran baru si penulis?” Setidaknya toh cerpen-cerpen
ini hadir kepada pembaca dengan cara demitologisasi.
Demitologisasi inilah agaknya yang
menjadi salah satu pangkal kenapa tulisan Gunawan Maryanto berasa asing. Cara dia
melakukannya (sepertinya) bukan sekedar dengan membalik tafsir cerita yang telah
ada, melainkan juga dengan melengkapi atau menambal kekurangan kisah-kisah dari
teks/naskah lawas tadi. Dengan begini dia sudah melakukan cara kerja yang mirip
seorang peneliti, yaitu memperbesar dan meluaskan peta per-kisah-an. Makanya kok
ada Panji Laras main sepak bola di cerpen “Panji Laras.” Ada surat yang ‘ditulis’
Arya Mangkunegara kepada seorang Belanda di cerpen “Pengakuan Arya Mangkunegara
di Hadapan Willem Ter Smitten.” Ada wawancara dengan pembunuh Panji Reni di “Panji
Reni.” Dengan begini kuumumkan bahwa aku memberi buku ini nilai 4 dari 5.
Cerpen favoritku adalah Kobatsah,
Pergi ke Toko Wayang, dan Ranggalawe Gugur.
0 komentar:
Posting Komentar